Keanekaragaman Hayati di Kota Guangzhou

UNITED Nation Environmental Development (UNEP), badan resmi PBB untuk urusan lingkungan hidup, menggelar Workshop Keanekaragaman Hayati di Kota Guangzhou, Provinsi Guangdong, Cina, sejak 9-13 Desember 2013. Saya ikut sebagai salah satu narasumber dalam forum ini, mewakili Pusat Studi Hukum Adat Laot dan Kebijakan Perikanan (Pushal-KP) Universitas Syiah Kuala (Unsyiah).
Adalah UNEP melalui International Collective Support of Fishworkers (ICSF) bermarkas di India yang mengundang Pushal-KP Unsyiah untuk ikut dalam ajang bergengsi ini.
Ada dua tujuan utama yang dibicarakan oleh lebih dari 60 peserta dari berbagai negara di Asia, perwakilan PBB, NGO, dan perwakilan universitas dalam workshop ini. Pertama, mengenai sustainable (keberlanjutan). Kedua, tentang marine protected areas (MPAs).
Kedua tujuan di atas berkaitan dengan isu biodiversity marine and coastal areas (keanekaragaman hayati kawasan laut dan pesisir). Isu ini merupakan implementasi dari Convention Biological Diversity (CBD).
Banyak sekali pembicara yang diundang dalam workshop. Antara lain yang duduk satu meja dengan grup saya adalah Piers Dunstan, peneliti dari Hobart, Australia. Di meja yang lain ada Prof Dr John Kurien mewakili ICSF. Namun, yang menjadi perhatian dalam workshop ini, antara lain, berkaitan dengan traditional knowledge (pengetahuan tradisional) dan bagaimana bekerja bersama membangun dan melestarikan keanekaragaman hayati pesisir dan laut di kawasan Asia.
John Kurien yang pernah bekerja di UN-FAO Aceh selama empat tahun pada hari kedua diberi kesempatan presentasi dengan judul Ecosystem Approaches to Fisheries and Local Implementation. Yang menarik ialah, dari sekian tempat ia bekerja di dunia, John Kurien memilih dua sampel lokasi sebagai contoh, yaitu India dan Aceh, kawasan barat Indonesia.
Pada hari yang sama, saya sendiri dan semua perwakilan negara dan perwakilan organisasi yang diundang dijadwalkan melakukan presentasi setelah makan malam. Saya atas nama Pusat Studi Hukum Adat Laot dan Kebijakan Perikanan Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) tampil dengan presentasi berjudul “The Implementation of Traditional Concept for Sustainably Marine and Coastal Areas”, pelaksanaan konsep tradisional dalam menjaga keberlanjutan area pesisir dan laut.
Materi yang saya presentasikan ialah berkaitan dengan praktik di lima wilayah ko-manajemen perikanan pada empat kabupaten di Aceh, yaitu  Kabupaten Aceh Besar, Aceh Jaya, Aceh Barat, dan Nagan Raya. Konsep ini ternyata telah berkembang di banyak negara Asia dengan nama atau istilah yang sedikit berbeda.
Pada bagian lain saya paparkan bagaimana Aceh sebagai salah satu contoh telah menjaga wilayah pesisir dan keberlanjutan laut sejak 400 tahun lalu. Caranya ialah dengan melaksanakan taboo days (uroe pantang laot). Yang apabila diakumulasikan, dalam setahun terdapat 59 hari nelayan di Aceh tidak melaut. Filosofinya ialah nelayan Aceh telah sadar sejak dulu bagaimana mereka mampu menjaga perkembangbiakan ikan, pertumbuhan karang, alga, dan keanekaragaman hayati pesisir dan laut Aceh sejak lama, sementara di dunia lain, terutama kawasan Asia, baru membicarakannya.

Konsep ini disambut hangat oleh para peserta, bahkan John Kurien memberi apresiasi untuk penampilan pertama saya di forum ini. Sementara perwakilan UN-FAO, perwakilan dari Bangladesh mendekati saya pada hari berikutnya dan mengatakan presentasi saya itu menarik. Workshop ini telah berakhir hari Jumat sore, 13 Desember 2013 di mana saat itu cuaca dilaporkan pada posisi 15 derajat Celcius.  Wasalam. [email penulis: t_muttaqien@yahoo.com]

0 komentar:

Posting Komentar