Masjid Tertua Cina
SAYA beruntung mendapatkan kesempatan mengikuti workshop keanekaragaman hayati yang diprakarsai United Nation Environmental Development (UNEP), badan resmi PBB untuk urusan lingkungan hidup. Workshop kali ini dilaksanakan di Kota Guangzhou, Provinsi Guangdong, Cina, sejak 9-13 Desember 2013.
Kehadiran saya ke forum ini atas rekomendasi M Adli Abdullah, Direktur Pusat Studi Hukum Adat Laot dan Kebijakan Perikanan (Pushal-KP) Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), setelah adanya permintaan dari UNEP melalui International Collective Support of Fishworkers (ICSF) yang bermarkas di India.
Saya datang dua hari lebih awal sebelum acara dimulai pada 9 Desember 2013. Kesempatan ini saya gunakan semaksimal mungkin untuk mengunjungi beberapa situs bersejarah di Guangzhou yang memang dikenal banyak menyimpan sejarah. Salah satu yang saya kunjungi ialah Masjid Huaisheng. Informasi tentang masjid ini saya peroleh melalui internet saat transit di Kuala Lumpur, Malaysia.
Masjid ini memiliki beberapa nama, seperti Masjid Raya Canton, Masjid Guangta Si, Masjid Hwai Sun Su, dan Masjid Yin Ming. Malah kalau melihat dari gambar yang ditempel di gedung sebelah kanan masjid ada juga tulisan Mosque Mohammadan (Masjid Muhammad/Masjid Nabi Muhammad). Tapi sesungguhnya masjid ini lebih dikenal sebagai Masjid Huaisheng.
Masjid Huaisheng diyakini sebagai masjid tertua di Cina. Menurut naskah muslim Cina kuno, masjid ini dibangun oleh Sa’ad ibn Abi Waqqas, paman Nabi Muhammad yang diperkirakan datang untuk menyebarkan Islam pada tahun 650 M di Cina. Masjid ini sangat indah, atapnya berciri khas Masjid Chengho di Surabaya atau berbentuk Masjid Cina di Rantau Panjang, Kelantan, Malaysia yang bentuknya seperti kelenteng Cina. Masjid Huaisheng terletak di Jalan Guang Ta Lu, Koya Guangzhou, Provinsi Guangdong.
Bagaimanapun untuk mencapai masjid ini tidaklah mudah. Ada sekitar tujuh taksi yang ingin saya tumpangi. Tapi tidak ada satu pun dari sopirnya yang mengetahui lokasi masjid itu, meskipun saya suah beberapa kali mengulang nama dan menunjukkan kertas yang bertuliskan Masjid Huaisheng sekaligus beberapa foto masjid.
Dalam keadaan galau akhirnya saya diberi tahu oleh salah seorang sopir untuk menuliskan nama masjid dalam huruf Cina. Saya coba datangi sebuah hotel yang tak begitu jauh dari tempat saya menyetop taksi. Saya yakin si resepsionis mengetahui bahasa Inggris dan dapat menerjemahkan nama masjid ke dalam tulisan Cina. Atas bantuan resepsionis itulah kemudian saya kembali menyetop taksi dan kemudian saya tunjukkan tujuan saya dalam tulisan Cina yang telah ditulis resepsionis. Betul, ternyata sopir taksi mengetahui tempat itu dan mengantar saya ke sana.
Saya tiba di Masjid Huaisheng pukul 11.45, saat pintu masjid belum dibuka. Saya bertemu dengan seseorang berkopiah putih (mungkin saja dia khadam masjid) dan kemudian saya ucapkan salam. Ada beberapa pemuda yang mengaku mahasiswa sedang melihat-lihat masjid itu dari luar. Mereka tenyata bukan muslim dan seperti sangat asing saat menyaksikan masjid.
Setelah saya ucapkan assalamu’alaikum kepada khadam yang ketika itu sedang duduk di bangku panjang sebelah kiri pintu masjid. Saya perkenalkan diri bahwa saya muslim dan berasal dari Indonesia. Tapi sayangnya dia tak tahu Indonesia. Selanjutnya saya katakan kalau saya dari Malaysia sedangkan Indonesia dekat dengan Malaysia. Dia bilang, “Yes, I know Malaysia, but I don’t know Indonesia.”
Selanjutnya saya katakan ingin shalat. Dengan ramah, dia tunjukkan tempat wudhuk dan pada waktu yang sama dia bukakan pintu masjid untuk saya. Bergegas saya letakkan tas saya di dalam masjid, baru kemudian berwudhuk di tempat yang dia tunjuk.
Setelah shalat sunat tahayatul masjid dua rakaat, saya pun menunggu masuknya waktu Zuhur pada pukul 12.31 waktu Cina. Kesempatan yang baik itu saya pergunakan untuk terus shalat jamak qashar. Alhamdulillah, ternyata di negara komunis yang minoritas beragama Islam masih ada rumah Allah yang dipelihara dan dijaga dengan baik hingga saat ini. Dan, semoga sepanjang masa. [email penulis: t_muttaqien@yahoo.com]
Setelah shalat sunat tahayatul masjid dua rakaat, saya pun menunggu masuknya waktu Zuhur pada pukul 12.31 waktu Cina. Kesempatan yang baik itu saya pergunakan untuk terus shalat jamak qashar. Alhamdulillah, ternyata di negara komunis yang minoritas beragama Islam masih ada rumah Allah yang dipelihara dan dijaga dengan baik hingga saat ini. Dan, semoga sepanjang masa. [email penulis: t_muttaqien@yahoo.com]
0 komentar:
Posting Komentar