Robben Island, Simbol Resistensi Mandela
ENAM Desember lalu, peraih Nobel Perdamaian yang juga mantan presiden Afrika Selatan (Afsel), Nelson Mandela, meninggal dunia dalam usia 95 tahun karena infeksi paru-paru. Direncanakan, Mandela akan dimakamkan di kampungnya, Qunu, pada Minggu (15/12/2013).
Mengenang peristiwa duka itu dan menjelang pemakamannya hari Minggu nanti, saya ingin mengilas balik perjalanan saya ke Afsel hanya beberapa hari sebelum Mandela meninggal dan dunia ikut berkabung.
Kehadiran saya dari Aceh ke Afsel adalah untuk menghadiri konferensi bertajuk “Avoiding Conflict Relapse through Inclusive Political Settlement and State-building after Intra State War” yang diselenggarakan di Cape Town.
Di tengah padatnya jadwal konferensi, saya sempatkan berkeliling Cape Town yang sangat indah. Yang pertama saya kunjungi adalah sel tahanan Mandela di Robben Island. Di sanalah ikon anti-apartheid itu menjalani hukuman sebagai narapidana politik selama 27 tahun.
Robben Island adalah sebuah pulau di Teluk Table, sekitar 6,9 kilometer sebelah barat pesisir Bloubergstrand, Cape Town. Di atas tanah seluas 500 hektare itulah dibangun berbagai fasilitas penjara yang berjejer sepanjang pulau dengan berbagai ukuran. Saya tersentak ketika melihat label yang menjelaskan adanya klasifikasi manusia di penjara, dengan jenis makanan yang disediakan. Kualifikasi A untuk orang kulit putih, B untuk kulit sawo matang, dan C orang kulit hitam.
Tapi yang lebih menyedot perhatian saya adalah ketika membaca kalimat berikut: Tidak ada dinding penjara, anjing penjaga, atau lautan dingin seperti parit mematikan yang mengelilingi Robben Island, yang mampu menggagalkan keinginan seluruh umat manusia.
Kata-kata bijak dari Mandela (setelah diindonesiakan) itu tercetak pada pamplet tepat di depan penjara Robben Island. Sebuah penjara yang mengurung badan Mandela, tapi tidak jiwanya.
Setelah larut dalam sejumlah kisah penyiksaan di penjara, saya dipersilakan melewati lorong menuju kamar isolasi kecil bernomor 4, tempat Mandela dikurung 27 tahun. Di depan kamar penjara itulah, pemandu wisata, mantan tapol yang pernah hidup di sana, menuturkan bahwa Mandela dipenjara karena memperjuangkan persamaan hak antara warga kulit hitam dan kulit putih.
Pemisahan ras itu menentukan kehidupan, bagai siang dan malam. Pernikahan campuran dilarang. Bahkan dengan Undang-Undang Group Areas Act tahun 1950, dilakukan pemisahan kawasan tempat tinggal. Di luar homelands, kaum berkulit hitam harus selalu membawa paspor.
Atas dasar itulah gelombang protes menentang kesewenang-wenangan dan ketidakadilan dilakukan. Gerakan protes diorganisir oleh African National Congress (ANC) yang selanjutnya menjadi gerakan massal dan beranggotakan semua etnis tanpa pembedaan kulit. Demonstrasi, boikot, mogok kerja, dan pembakaran massal paspor-paspor mereka lakukan. Mandela yang pada saat itu sebagai pengacara muda adalah aktivitis prodemokrasi yang menjadi aktor utama di balik gerakan. Kecerdasan dan keteguhan menjadikan Mandela Ketua ANC.
Pada tahun 1960, gerakan semakin menguat. Di selatan Johannesburg 20.000 warga kulit hitam tanpa paspor menyerbu pos polisi, membiarkan dirinya ditangkap pihak berwenang. Demonstrasi itu berakhir dengan pembunuhan massal. ANC kemudian dilarang. Mandela melakukan perlawanan bersenjata, membangun gerakan bawah tanah, dengan menyerang pusat-pusat industri. Lalu pada tahun 1964 jajaran pimpinan gerakan bawah itu ditangkap. Mandela dan Walter Sisulu dikenai tahanan seumur hidup.
Dengan mata berkaca-kaca pemandu wisata menceritakan kepada saya tentang Mandela yang mengalami penderitaan dan siksaan tiada terkira. Mandela ditempatkan di dalam sel tanpa dipan dengan klasifikasi C. Dia harus kerja paksa di siang hari, diisolasi jika melawan, dan lapar sepanjang waktu karena ransum yang minim. Mandela juga diisolasi dari dunia luar. Dalam setahun dia hanya diperkenankan menerima satu kunjungan, itu pun dibatasi hanya 30 menit. Selama enam bulan, Mandela hanya diperbolehkan menerima dan mengirim satu surat saja. Fotonya dilarang disebar, agar sosoknya dilupakan.
Tapi penjara Roben Island telah membentuk Mandela menjadi pribadi yang semakin kuat mental dan kepribadiannya. Dia berubah menjadi pribadi yang baru, dari nekat dan radikal menjadi pribadi yang bijak dan matang. Ia mengambil jalur transendental yang tidak lagi melihat, merasakan, dan menghayati penjara sebagaimana mestinya, namun lebih memilih menggunakan segenap hati dan semua indranya untuk melakoni pengalaman penjaranya dengan penuh total. Sel penjara yang pada umumnya menjadi sebuah ruang kematian, diubahnya menjadi sebuah ruang kelahiran barunya. Mandela sadar betul dengan konsekuensi perjuangannya, tidak terpancing atas provokasi, tidak pernah mengeluh menghadapi perlakuan yang tidak manusiawi dari para sipir penjara. Dia gunakan segala kecerdasan, keramahan, serta rasa humor yang kemudian menjadikan dia sangat berwibawa menembus dinding penjara di Roben Island.
Setiap hari dengan berbagai cara, tahanan politik harus membaca koran, mempelajari berbagai perkembangan gerakan antikebijakan apartheid, kemudian mereka bikin analisis dan political class, sebagai bahan referensi untuk mengirimkan surat ke berbagai lembaga dunia. Tujuannya mendapatkan perhatian dunia internasional, meski surat-surat Mandela kerap mendapatkan sensor ketat dari sipir penjara.
Perjuangan Mandela membuahkan hasil. Pada 2 Februari 1990, mantan presiden FW de Klerk, dalam pidato bersejarah di depan parlemen, mencabut larangan terhadap ANC serta gerakan revolusioner lainnya. Presiden juga mengumumkan pembebasan semua tahanan politik, termasuk Mandela pada 11 Februari 1990. Pada tahun 1994 berlangsung pemilu yang bebas dan adil untuk pertama kalinya di Afsel. Mandela terpilih sebagai presiden kulit hitam pertama. Pemerintahnya mengakhiri sistem apartheid dan merintis rekonsiliasi nasional.
Di akhir kisahnya, pemandu itu mengungkapkan satu hal yang patut ditiru dan menjadi pembelajaran demokrasi. Saat Mandela berkuasa dan AFC menjadi partai besar di sana, semangat gerakan tetap menjadi milik seluruh etnis di Afrika tanpa ada pengecualian. Meski mayoritas dari kulit hitam, tapi mereka tak pernah membuat pemisahan dengan kulit putih. Dia buang jauh dendam dan luka lama.
Mandela telah berhasil menjadikan Robben Island sebagai simbol resistensi dan kemerdekaan sebenarnya bagi rakyat Afsel dari semua golongan, tanpa ras, tanpa warna. Sampai ikon Afsel ini meninggal Jumat pekan lalu, dia tetap menjadi milik dunia dan terpatri dalam di hati rakyat Afsel.
[email penulis: mdaud@worldbank.org]
Mandela telah berhasil menjadikan Robben Island sebagai simbol resistensi dan kemerdekaan sebenarnya bagi rakyat Afsel dari semua golongan, tanpa ras, tanpa warna. Sampai ikon Afsel ini meninggal Jumat pekan lalu, dia tetap menjadi milik dunia dan terpatri dalam di hati rakyat Afsel.
[email penulis: mdaud@worldbank.org]
0 komentar:
Posting Komentar