Keadaan Vietnam

SAYA berada di Hanoi mengikuti Workshop on Capacity building for Trade Unions to Promote Decent Work yang diselenggarakan International Labour Organization (ILO). Kunjungan ke Vietnam ini menjadi sebuah pengalaman yang tak terlupakan bagi saya.
Diawali perjalanan naik pesawat dari Aceh ke Jakarta dengan jarak tempuh 2 jam 50 menit, kemudian lanjut dari Bandara Soekarno-Hatta ke Hanoi, ibu kota Vietnam, dengan lebih dulu transit melalui Ho Chi Min, sebuah kota di bagian selatan Vietnam.
Semula saya menyangka perjalanan yang idealnya enam jam ini dapat berjalan dengan lancar. Tapi kenyataannya tidak sesuai dugaan, karena ketika mendarat di Ho Chi Min awak pesawat tidak menyampaikan instruksi khusus kepada penumpang transit. Mereka hanya memberi tahu justru ketika saya bertanya. Seluruh penumpang transit ternyata dipersilakan turun bersama barang bawaannya, karena akan melanjutkan penerbangan dengan pesawat lain. Ini kekecewaan pertama saya pada pelayanan tak friendly di Bandara Ho Chi Min. Harapan saya, semoga orang lain dari Aceh atau Indonesia tak mengalami apa yang saya alami ini.
Kemudian, saya dan teman yang juga dari Indonesia turun, lalu bertanya kepada petugas di bandara. Sayangnya, lagi-lagi petugas hanya bisa menunjuk dengan bahasa mereka yang sulit untuk dipahami  agar kami ke luar dari terminal dan belok kanan. Karena instruksinya dominan dalam bahasa Vietnam, sehingga kami berkali-kali salah masuk ruangan. Ini kekecewaan saya yang kedua.
Selain itu, mayoritas layar monitor yang ada di bandara pun tidak berfungsi. Kalaupun ada yang hidup ternyata ketika kami perhatikan informasinya tidak sesuai dengan boarding pass yang kami pegang. Ini kekecewaan saya yang ketiga.
Bukan saya saja yang kecewa dalam perjalanan ini. Saya sempat saksikan sejumlah penumpang ke jurusan lain ribut-ribut dengan petugas di bandara, karena tidak akuratnya informasi tentang  gate (pintu masuk) penerbangan yang tertera di layar monitor bandara.
Begitupun masih tersisa nasib baik, pesawat lanjutan saya ternyata delay 30 menit, sehingga tersedia waktu untuk mengejar masuk ke terminal keberangkatan domestik menuju Hanoi. Padahal, saya mengira pastilah saya ketinggalan pesawat karena tak diumumkannya informasi bagi penumpang transit ketika pesawat hendak landing.
November lalu hingga awal Desember ini termasuk cuaca yang baik di Kota Hanoi, tidak panas, tidak pula terlalu dingin. Namun, bagi saya suhu 15-18 derajat Celsius sudah cukup dingin dibandingkan di Aceh.
Dalam hal makanan, pengunjung muslim akan sangat kesulitan di Vietnam ini untuk mendapatkan makanan halal. Alhasil, di hotel pun saya hanya pesan telur mata sapi agar tidak salah makan menu yang diharamkan bagi saya selaku muslim. Beberapa kali saat makan saya hanya pilih seafood dan menu untuk vegetarian agar aman dari masakan yang tidak halalan thayibah.
Suatu malam, saya bersama teman diundang makan malam oleh sahabat dari Hanoi yang merupakan pejabat pemerintah di Vietnam. Kami dijamunya di sebuah resto yang sangat terkenal, Quan An Ngon. Banyak turis yang siang malam datang ke resto mewah ini. Namun, sulit sekali bagi kami yang muslim memilih makanan yang terjamin kehalalannya. Maka kami pilih ikan dan seafood untuk disantap, sedangkan untuk minumnya kami pilih teh atau air mineral.
Dari sisi citarasa, makanan di Vietnam ini jauh sekali dari citarasa masakan kita di Aceh. Masakah Aceh lebih maknyus, sehingga bule pun suka.  Begitupun, saya lihat ada satu sisi kesamaan masyarakat Vietnam dengan Aceh. Ternyata masyarakat di Vietnam ini juga senang bisa menjamu tamu-tamunya yang datang ke Hanoi. Sahabat saya yang merupakan pejabat pemerintah Vietnam itu juga mengajak kami berkeliling kota untuk melihat-lihat keindahan kota pada malam hari.
Di sepanjang jalan saya lihat banyak remaja, pemuda, dan masyarakat yang menghabiskan waktu dengan makan minum di kafe-kafe, layaknya warung kopi di Aceh. Pemandangan seperti itu hampir di sepanjang pasar Kota Hanoi.
Cuma, kepatuhan berlalu lintas sangatlah lemah di sini. Banyak kendaraan tidak mengikuti aturan dan sangat semrawut. Jika dibandingkan dengan Indonesia, terus terang, kita lebih baik dalam hal tertib berlalu lintas. Waduh, begini rupanya Vietnam, negeri yang terlibat perang panjang dengan negara adikuasa, Amerika Serikat.

Begitupun, tetap saja ada objek menarik lainnya yang bisa kita nikmati di Vietnam. Misalnya, Mousoleum Ho Chi Minh, Army Museum, History Museum, Ngoc Son Temple, Temple of Literature, Hanoi Hilton, dan Vietnam Women Museum. Setidaknya, inilah “pelipur lara” saya selama berada di ibu kota negara republik sosialis ini. 
[email penulis: habiby_inseun@yahoo.com]

0 komentar:

Posting Komentar