Berkain Sarung Itu Aib
SUNGGUH menakjubkan, ketika kami pertama kali mendarat (landing) di Kairo, Mesir, Senin lalu. Kota yang sangat terkenal dalam sejarah Islam dan dijuluki “Negeri Fir’aun”. Mesir identik dengan negara yang bernuansa Islam tapi sekuler, banyak peninggalan sejarah yang dapat kita kunjungi, seperti Makam Imam Syafi’i, Universitas Al-Azhar, Piramid dan Sphinx, Terusan Suez, Sungai Nil, Luxor, Laut Merah, dan lain sebagainya.
Dalam suatu perjalanan di Kairo, saya bersama rombongan yang dipimpin Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry, Prof Dr Farid Wajdi Ibrahim MA, juga Dr Muhibbuthabry MAg (Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Ar-Raniry) dalam rangka mengikuti Lokakarya Internasional Kurikulum Bahasa Arab untuk Perguruan Tinggi, kerja sama Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) dengan Pemerintah Mesir, menyempatkan waktu untuk berziarah ke makam Imam Al-Ghazali.
Ternyata luar biasa menakjubkan wisata spiritual di sini. Hampir dapat dipastikan tidak ada manusia (umat) yang beriman kepada Allah Swt yang tidak merinding bulunya ketika memasuki makam Syafi’i, imam yang mejadi pengikut Ahlul sunnah wal-jama’ah di seluruh jagat raya, khususnya di Aceh yang berjuluk Serambi Mekkah.
Makam Imam Syafi’i, tepatnya terletak di daerah Saidah Aisyah, Kota Kairo. Ada hal yang menarik ketika kami memasuki Masjid Imam Syafi’i yang terletak bersebelahan dengan makamnya. Ada salah seorang jamaah dalam rombongan kami dari Indonesia ingin menunaikan shalat dan ia mengganti celana panjangnya dengan kain sarung. Ternyata semua jamaah lainnya (orang Mesir) melihat dan memperhatikannya, seperti kita melihat sesuatu yang kita anggap aneh.
Kemudian saya coba tanyakan kepada seorang jamaah berkebangsaan Mesir di masjid tersebut, “Mengapa Anda melihat dan memperhatikan teman saya dengan pandangan yang aneh?” Dengan gamblangnya dia menjawab. “Ini sesuatu aib bagi kami di sini, Saudaraku.”
Saya sungguh terkejut atas jawabannya, karena ‘aib’ dalam pemahaman saya adalah sesuatu yang memalukan atau sesuatu yang seharusnya ditutupi.
Di tengah kebingunan saya, dia lanjutkan penjelasannya, “Pasangan suami istri di Mesir lazimnya menggunakan kain sarung setelah bersetubuh, bukan untuk menunaikan shalat, apalagi saat memasuki masjid sebagai tempat yang sangat terhormat dan mulia.”
Setelah mendengar penjelasan itu barulah saya mengerti mengapa dia dan jamaah lainnya yang berkebangsaan Mesir heran dan merasa aneh ada seorang jamaah yang ternyata dari Aceh, Indonesia, mengenakan kain sarung saat shalat di masjid.
Begitupun, tetap saja saya coba jelaskan bahwa orang Indonesia lazimnya menggunakan kain sarung pada saat ingin shalat dan bepergian ke masjid. Namun, warga Mesir yang berbincang dengan saya itu rasanya tidak sanggup untuk menahan tawanya, karena berkain sarung di masjid itu tetap dia anggap aneh lantaran tergolong bagian dari aib.
Menjelang perpisahan kami, orang Mesir itu tetap mengingatkan supaya pengunjung dari Aceh atau dari mana pun, jangan pernah mengenakan kain sarung di Mesir. Apalagi pada saat sedang berjalan kaki melintasi tempat umum, karena hal itu pasti dipandang sebagai aib.
Lantas, kalau bukan kain sarung lalu apa? Orang Mesir ternyata lazimnya mengenakan baju kurung dan berjubah. Kami perhatikan, memang sama sekali tidak ada jamaah yang memakai kain sarung di masjid tersebut, kecuali satu orang, anggota rombongan kami dari Aceh. Demikian juga ketika kami shalat Jumat berjamaah, Jumat (29/11/2013) lalu. Hampir semua jamaah memakai celana panjang.
Sungguh ini sangat bertolak belakang dengan kultur/budaya orang kita di Indonesia, terutama di Aceh, dalam mengukur tingkat kealiman. Seolah teungku yang paling sering memakai kain sarung, itulah yang paling karismatik dan tinggi maqam kealimannya. Semoga ini menjadi cerminan bahwasanya kain sarung itu bukanlah sesuatu yang menjamin dan merefleksikan tingkat ketaatan/kealiman kita pada Allah Swt, sebagaimana pemahaman warga Mesir. Semoga bermanfaat. [email penulis: saiful.ptn@gmail.com]
Sungguh ini sangat bertolak belakang dengan kultur/budaya orang kita di Indonesia, terutama di Aceh, dalam mengukur tingkat kealiman. Seolah teungku yang paling sering memakai kain sarung, itulah yang paling karismatik dan tinggi maqam kealimannya. Semoga ini menjadi cerminan bahwasanya kain sarung itu bukanlah sesuatu yang menjamin dan merefleksikan tingkat ketaatan/kealiman kita pada Allah Swt, sebagaimana pemahaman warga Mesir. Semoga bermanfaat. [email penulis: saiful.ptn@gmail.com]
0 komentar:
Posting Komentar