Islam di Amerika

TAK terasa, sudah tiga bulan lebih saya tidak mendengar orang-orang berbicara dalam bahasa Aceh, bahkan Indonesia. Sudah tiga bulan lebih pula saya tak memakai seragam putih-hijau tosca yang sangat saya banggakan ketika bersekolah, tidak naik BE (Bireuen Express) atau labi-labi, tidak bertemu keluarga, dan teman-teman yang sudah saya kenal belasan tahun. Selama itu pula saya tidak di Aceh.
Sebagai gantinya, Lancaster, Ohio, Amerika Serikat (AS), menjadi latar tempat untuk petualangan saya selama sebelas bulan. Rumah mungil manis dengan bukit berumput, pohon tinggi, dan bunga-bunga cantik menjadi rumah baru saya. Bahasa Inggris menjadi bahasa utama saya.
Hal menarik terus saja terjadi. Ketakutan yang ada di pikiran saya sebelum berangkat benar-benar cuma ada di kepala saya. Saya takut tak punya teman di sekolah, tapi yang terjadi justru saya termasuk murid popular di Amanda Clearcreek High School (ACES). Saya satu-satunya exchange student, muslim, juga satu-satunya perempuan berjilbab di sekolah. Mungkin karena itu saya menjadi cukup popular.
Alhamdulillah, anak-anak ACES menyambut saya dengan ramah dan terbuka. Mereka menerapkan budaya 5S (senyum, salam, sapa, sopan, dan santun) seperti yang ada di sekolah saya, Sukma Bangsa Lhokseumawe. Saya seperti menemukan Sukma lainnya di AS.
Pelajaran di AS terbilang mudah. Kami cuma mempelajari tujuh mata pelajaran selama satu semester. Di semester ini saya mengambil creative writing, fotografi, English, Adv. American History, nutrition and eellness, Algebra II, dan yang terakhir religion of the world. Kelas terakhir ini merupakan kelas yang disarankan host mom saya. Beliau berharap di kelas ini saya bisa berbagi tentang Islam yang damai dan menghilangkan image negative tentang Islam di kalangan remaja AS.
Sejak pertama memasuki kelas, guru saya sudah meminta saya meralat, menjelaskan, atau menambahkan penjelasan beliau ketika akhirnya kami mempelajari tentang Islam. Itulah yang saya lakukan. Meralat ketika ada kesalahan, menambah, atau menjawab pertanyaan teman-teman di kelas. Terkadang saya tak bisa menjelaskan pertanyaan mereka. Pada titik ini, saya sempat berpikir, “Kenapa saya nggak di pesantren atau mondok di dayah?” Karena itu, sekarang saya sering membuka web (laman) tentang Islam untuk mendalami, sehingga saya bisa memberi jawaban kepada teman-teman saya. Siapa sangka negara mayoritas nonmuslim justru membuat saya menjadi muslim yang semakin muslim. Alhamdulillah.
Dikirim ke AS sebagai duta, menuntut saya untuk melakukan presentasi tentang budaya dan kebiasaan masyarakat Indonesia, khususnya Aceh. Kemarin saya baru saja presentasi di kelas delapan dan rasanya luar biasa! Presentasi saya sukses besar. Rasanya sangat menakjubkan melihat anak-anak SMP Amerika memperhatikan presentasi saya, menjawab pertanyaan, atau mengajukan pertanyaan-pertanyaan lucu, seperti, “Apakah di Indonesia lagu One Direction diterjemahkan ke bahasa Indonesia?” dan yang lainnya.
Setiap anak yang menjawab pertanyaan atau bertanya, saya beri hadiah berupa gantungan Aceh, bros berbentuk rencong, atau uang dua ribuan. Di akhir presentasi, saya tarikan saman dan mereka menggila dan amat terpesona. Ketika waktu presentasi habis, mereka harus ke kelas selanjutnya, seorang anak berkata, “I don’t think I need to go to next period. I can sit here, listen to Mel talking about Indonesia all day. I really want to know.” Perkataan dia benar-benar membuat saya senang, bangga sekaligus haru. Salah seorang murid mendekati saya dan berkata, “Nice presentation” sambil tersenyum malu-malu. Ketika saya melewati hallway menuju kelas saya selanjutnya, saya lihat anak-anak yang saya ceramahi memamerkan hadiah yang saya berikan kepada teman-teman mereka yang lain. Melihat ini, membuat saya yang awalnya takut, kini menjadi ketagihan melakukan presentasi. Setelah ini, saya berencana mengajarkan saman di sekolah ini.
Sebelum saya berangkat, teman-teman dan keluarga sering berpesan agar saya tidak sering ke luar malam dan menghadiri pesta. Tapi saya menemukan bahwa remaja AS tidak sebebas yang kita lihat di film. Di rumah saya sudah harus tidur pada jam sembilan malam. Ketika saya hadiri pesta ulang tahun teman saya, tidak ada alkohol atau dugem gila seperti di film. Kami melakukan hal menyenangkan dan positif, seperti bermain game, melahap ice cream dan pizza, juga menonton film hingga ketiduran.

Awalnya saya melabel remaja AS dengan label negatif. Tapi di sini saya temukan mereka lebih aware (peduli) terhadap lingkungan dibanding remaja di Indonesia. Remaja AS sudah dididik untuk peduli akan sekitar mereka sejak dini. Community service atau bakti sosial menjadi hal yang wajib dilakukan untuk lulus SMA. Community service juga menjadi hukuman untuk setiap orang yang melakukan kesalahan. Benar-benar hukuman yang mendidik dan bermanfaat. Saya berharap hal seperti ini juga bisa kita jalankan di Indonesia, terutama di Aceh. [email penulis: meliakren@yahoo.co.id]

0 komentar:

Posting Komentar