Keramahtamahan di Beijing

MENUMPANG pesawat Airasia dari Kuala Lumpur, saya tiba di Beijing International Capital Airport pada 3 September 2013 dini hari. Saya datang sendiri, tak ada yang menjemput di bandara.
Karena terlalu dini tiba di Beijing, saya memilih duduk manis di kursi yang tersedia. Di samping saya seorang gadis muda dengan wajah khas Chinese tersenyum. Saya beranikan menyapa. Saya berharap dia salah satu mahasiswa yang kuliah di kampus yang akan saya tuju.
Ternyata dia orang Indonesia yang tur dua minggu bersama keluarganya. Gadis itu memperkenalkan dirinya dengan nama Ai Ai. Ibu dan kakaknya sedang mencari SIM card untuk menghubungi teman ibunya di Beijing. Ketika mereka kembali Ai Ai memperkenalkan saya pada keluarganya. Keempatnya langsung mengerubungi saya dan berpikir saya sudah lama di Beijing. Begitu saya katakan ini pertama kalinya, si ibu langsung menasihati saya banyak hal. “Jangan lupa makan teratur, hati-hati selama tinggal di negara orang. Kabari ke Indo begitu kamu pakai nomor Cina. Kamu cari orang Indo sampai di kampus,” begitu pesan ibu Ai Ai. Orang-orang Indonesia di sini punya kebiasaan menyingkat kata Indonesia menjadi Indo.
Saat Ai Ai dan keluarganya pergi, saya tak sendiri. Dua orang warga Malaysia mendatangi saya karena berjilbab. Dia tanyakan makanan halal pada saya. Karena tak bisa banyak membantu, saya hanya berikan catatan dengan tulisan Qing zhen cai yang artinya halal.
Sekitar satu jam lebih mereka berputar-putar di bandara cari makanan. Seorang mahasiswa Beijing Foreign Studies University menghampiri saya dengan senyum lebar. Ia baru tiba dari Kazasthan. Ia perlihatkan paspor merah tua dengan kebangsaan Rusia. Di sana tertulis namanya, Artem Tsoy. Saya pikir dia keturunan Cina di Rusia dan pindah ke Kazakhtan karena kebijakan negaranya yang tak menerima orang Asia. Ternyata dia berwarga negara Korea dan lahir di Rusia. Ia cukup ramah, malah tergolong sangat suka bercerita. Ia juga menginformasikan lokasi komunitas orang Indonesia di Beijing.
Semua berjalan baik-baik saja selama berada di dalam bandara. Orang-orang yang saya temui cukup bersahabat. Dua warga Malaysia yang menuntut ilmu di United Kingdom dan berjalan-jalan di Beijing mau menjagai koper selama saya tinggalkan beberapa saat. Beberapa orang juga memberikan informasi tentang kampus yang akan saya tuju. Mahasiswa Rusia malah menawarkan diri mengantar ke kampus saya, tapi saya tolak karena takut. Ia peringatan saya akan ongkos taksi yang harus saya bayar, kemudian apa yang harus saya lakukan setiba di kampus. Sebagai gantinya, ia beri saya secarik kertas berisi langkah-langkah yang harus saya lakukan setiba di kampus.
Begitu pagi mulai terang, saya mulai mencari dan menawar taksi. Tak satu pun sesuai dengan informasi yang saya kumpulkan. Karena takut terlambat mendaftar ulang dan sudah ingin istirahat di asrama, saya terpaksa naik taksi dengan tarif yang sangat mahal. Nyaris 600 ribu dalam rupiah, padahal jaraknya tak begitu jauh.
Orang-orang yang saya tanyai di kampus tak bisa berbahasa Inggris. Bahasa Mandarin mereka tak bisa saya mengerti. Saya mulai tertekan. Saya putuskan tetap menggunakan bahasa Inggris meskipun kacau. Akhirnya lelaki setengah baya asal Pakistan yang sudah lebih dulu kuliah di Communication University of China (CUC) membantu saya ke tempat pendaftaran.
Begitu pendaftaran dibuka, saya cari-cari wajah Indonesia. Berbagai bangsa, berbagai bahasa, semua menyatu dalam bahasa Inggris dan Mandarin. Saya pilih titik aman dengan bahasa Inggris. Jika sudah mentok dan lawan bicara tak paham, baru saya berbahasa Mandarin.
Awalnya saya pikir homesick hanya menyerang setelah beberapa bulan. Ternyata tidak! Baru beberapa jam saja di Beijing saya sudah merindukan segala hal tentang Aceh. Penduduknya yang ramah, berbudaya, dan makanan yang enak-enak. Apa pun yang saya inginkan mudah saya dapatkan meski dengan sedikit perjuangan. Berbeda dengan di Beijing. Fasilitas yang disediakan serbamewah, tapi saya selalu dalam keadaan waswas menggunakannya.
Pada hari ketiga, orientasi dilakukan di aula. Sepanjang perjalanan dari asrama menuju gedung yang berjarak lumayan jauh, saya berkenalan dengan mahasiswa asal Amerika Serikat. Ia mengambil jurusan TV Broadcasting yang banyak diincar oleh mahasiswa asal AS dan Afrika.
Di aula, saya duduk di samping gadis muda bermata sipit. Ia lebih dulu menanyakan nama saya. Ketika saya sebut nama, dia langsung berteriak girang dan menebak saya dari Indonesia. Benar kata orang, jika sudah bertemu dengan warga sebangsa, bahasa ibu menjadi pilihan. Sampai hari ini hanya dia dan seorang gadis 17 tahun yang saya ketahui berasal dari Indonesia. Dalam satu minggu saja saya akui bahwa bahasa Inggris penting, tapi bahasa lokal jauh lebih penting ke mana pun kaki melangkah. Selama bahasa masih ada di permukaan bumi, tetap saja bahasa lokal harus dikuasai walau sedikit. 
[email penulis: peacesmile05@yahoo.co.id]

0 komentar:

Posting Komentar