Pesta Nikah di Narathiwat Thailand

RATUSAN kursi plastik warna biru disusun di halaman rumah. Setiap kursi ditata melingkari sebuah meja bundar. Per meja ada enam kursi. Sedikitnya, ada empat tenda teratak yang memayungi kursi-kursi itu. Semua dipersiapkan untuk menyambut tetamu.
Di samping kanan rumah terdapat sebuah tenda lainnya, tempat kaum ibu berkumpul. Ada yang mengupas bawang, mengiris timun, mengelap piring, dan sebagainya. Di rumah itu akan ada pesta nikah (walimah ursy). Pesta sederhana dengan adat Melayu di Sempadan Selatan Thailand. Warga setempat menyebutnya dengan adat Melayu Patani.
Segala persiapan kenduri dilakukan secara tradisional. Pelakon kerjanya adalah orang-orang kampung, tua muda, laki dan perempuan. Kerja tuan rumah hanya menerima laporan dari orang-orang kampung yang bekerja. Laporan itu, antara lain, semisal kelapa masih kurang, pisau belum cukup, dan lain-lain. Singkatnya, tuan rumah adalah penyedia segala kebutuhan. Yang bekerja adalah orang kampung.
Sehari sebelum pesta, gotong royong (Aceh: meuseuraya) oleh orang-orang kampung sudah tampak. Begitu pula malamnya. Sekumpulan bapak-bapak berkumpul di tempat yang telah disediakan. Di sana, mereka mencincang daging lembu yang sudah disembelih.
Sebagian orang bertindak memotong tulang-tulang lembu tersebut, sebagian lainnya mencincang daging, dan sebagian lain memanaskan air. Beberapa orang memang tampak duduk-duduk saja. Ia perhatikan kerja orang-orang yang mencincang daging lembu tersebut hingga tiba giliran menggantikan yang sudah lelah. Memasak jadi tugas kaum ibu. Esoknya, sebagian masakan tinggal dipanaskan saja.
 Nasi bungkus
Nasi yang sudah dimasak dibungkus dengan plastik gula 2 kg. Nasi bungkus itu diletakkan di atas talam bersama enam buah piring. Umumnya, satu talam ada tiga bungkus nasi. Nasi-nasi itulah yang dihidangkan untuk tetamu dan undangan. Setiap tamu akan menuangkan nasi dari bungkus plastik ke dalam piringnya. Satu plastik cukup untuk dua orang. Jika mereka butuh nasi tambah atau ada sesuatu lainnya yang masih kurang, tetamu boleh meminta lagi.

Bertindak sebagai tukang angkat dan hidang nasi serta kuah ke hadapan tamu-tamu adalah kelompok anak muda laki-laki.
Hal yang tidak pernah ketinggalan dalam talam lauk adalah timun dan sambal terasi. Bagi orang Melayu Patani, timun dan sambal terasi adalah lalap yang mesti ada. Tak hanya di rumah kenduri, di warung-warung nasi sepanjang jalan pun selalu disiapkan timun dicicah bersama sambal terasi. Makanan ini jadi salah satu khas tiga daerah dalam wilayah Patani: Narathiwat, Pattani, dan Yala.
Selain itu, yang menjadi khas tiga daerah ini adalah namplau. Namplau merupakan es kosong di dalam gelas. Musim hujan maupun kemarau, setiap gelas untuk tetamu akan diberi es kosong. Adapun air putihnya sudah disediakan dalam ceret di atas meja. Tetamu tinggal menuangkan air putih ke dalam gelas mereka.
Jika makanan khasnya adalah timun dan sambal terasi, boleh dikatakan pula bahwa minuman tradisional daerah ini adalah namplau. Nyaris setiap tempat, namplau dan mentimun selalu ada.
Penganan lainnya yang tidak ketinggal di rumah-rumah kenduri adalah pulut. Selain pulut kuning, di sini juga disediakan pulut cokelat yang rasanya sangat manis. Pulut kuning biasanya dihidangkan bersama ikan sambal lado. Orang akan menyantap pulut kuning itu seperti makan nasi, dengan lauknya ikan sambal lado.
Hidangan ini biasanya untuk pagi hari. Jikapun dihidangkan siang atau malam, biasanya untuk cuci mulut. Demikian pagi pesta itu. Rombongan pengantin lelaki (lintô barô) sampai di rumah dara barô pagi-pagi sekali. Akad nikah dilangsungkan di rumah dara barô. Bersama lintô barô hadir imam, kepala kampung, orang tua/wali. Ijab qabul dilafazkan oleh lintô kepada orang tua dara baro. Adapun dara barô masih disembunyikan dalam kamar.
Selepas akad nikah, rombongan kecil lintô barô disuguhi pulut kuning. Selesai makan pulut kuning, rombongan lintô pulang ke rumah/kampungnya. Ia kembali ke rumah dara barô menjelang makan siang, bersama rombongan yang lebih besar. Saat itu pula, tetamu dan undangan dari pihak mempelai perempuan berdatangan.
Pelaminan yang dihiasi bunga-bunga kertas sekeliling, diletakkan di luar rumah. Tak ada tempat duduk. Pelaminan itu hanya dibuat untuk berdiri bersalaman. Di sanalah kedua pengantin berfoto bersama sanak famili.
Sebagai adat Melayu, satu hal yang tak tampak hari itu, hanyalah berbalas pantun. Mungkin saja di rumah itu tak ada ahli pantun atau memang disepakati oleh pihak keluarga tak perlu agenda balas pantun.
Terlepas dari itu semua, seremonial adat pernikahan dan adat pesta di sana tidak jauh berbeda dengan di Aceh. Hanya saja, di Aceh kegiatan meuseuraya di rumah-rumah orang walimah sudah mulai luntur seiring masuknya hidangan ala prasmanan. Beda lainnya, mahar yang digunakan di Patani bukan emas, melainkan uang tunai. Demkianlah.
[email penulis: hermanrn13@gmail.com]

0 komentar:

Posting Komentar