Kisah Tsunami Bersama Murid Kanada

MELALUI Program Pertukaran Pemuda Antarnegara (PPAN) saya bersama 27 pemuda-pemudi dari berbagai provinsi ikut mewakili Indonesia pada Indonesia-Canada Youth Exchange Program (ICYEP) atau Pertukaran Pemuda Indonesia-Kanada tahun 2013-2014. Program ini merupakan agenda rutin tahunan Kementerian Pemuda dan Olahraga RI bekerja sama dengan Canada World Youth.
Selama program berlangsung, kami lakukan berbagai aktivitas menarik, di antaranya Educational Activity Day (EAD). Yaitu presentasi oleh sepasang fasilitator yang terdiri atas peserta Indonesia dan Kanada. Setiap pasangan (counterpart) harus merancang kegiatan, misalnya, diskusi kelompok, menghadirkan pemateri, dan melakukan kunjungan ke instansi tertentu. Untuk kepentingan ini, kami bahkan berkunjung ke Dalhausie University melakukan observasi terhadap proses peternakan sapi di jurusan pertaniannya.
Selain itu, saya bersama seorang teman dari Montreal mendapat kesempatan menjadi teacher’s assistance (asisten guru) di Cobequid Consolidated Elementary School, sekolah setingkat SD. Ada banyak hal berbeda yang saya proleh di sekolah ini. Salah satunya cara guru menjaga kenyamanan murid-muridnya. Sebelum pembelajaran dimulai, siswa yang belum sempat sarapan di rumah diwajibkan sarapan lebih dulu di dapur umum dan itu gratis.
Sebelum pelajaran dimulai, ada pemberitahuan dari kepala sekolah untuk menyanyikan lagu kebangsaan Kanada berjudul “O’ Canada”. Anak-anak berdiri menghadap bendera dan menyanyikan lagu tersebut. Ini bertujuan untuk menanamkan semangat kebangsaan dan cinta tanah air dan membiasakan mereka menghafal lagu kebangsaan. Di sekolah ini setiap kelasnya terdiri atas 20 hingga 25 siswa. Satu guru sebagai fasilitator dan satu lagi sebagai asisten pengontrol.
Di sekolah ini saya mendapat kesempatan mempresentasikan Indonesia. Dilengkapi sebuah peta, saya tunjukkan provinsi paling barat Indonesia, yaitu Aceh. Murid-murid bersemangat mendengar penjelasan saya. Mereka bagai terhipnotis, terutama saat saya ceritakan tentang peristiwa tsunami 26 Desember 2004. Saat saya putar video bencana mahadahsyat itu, langsung saja para murid histeris dan penasaran. Ketika video usai, saya persilakan mereka bertanya. Mereka begitu responsif. Semua murid mengangkat tangan. Seorang di antara mereka dengan percaya diri memberi pendapat, “Ketika terjadi gempa, hal utama yang perlu kita lakukan adalah jangan panik dan segeralah mencari tempat yang lebih tinggi untuk evakuasi sebagai antisipasi jika tsunami datang.”
Saat masuk ke kelas primary (setingkat TK), setiap hari ada seorang murid yang menjadi special guest (tamu khusus). Ia memimpin aktivitas belajar. Sang murid diharuskan menjelaskan topik yang telah dipilihnya. Ia dengan berani memberi penjelasan. Hari itu seorang murid maju ke depan kelas membawa mainan kesayangannya berupa pesawat terbang. Ia jelaskan apa itu pesawat lalu memberi kesempatan bertanya pada teman-temannya. Hampir semua murid mengangkat tangan. Walau terkadang bukan bertanya, melainkan hanya memberi pujian atas penjelasan temannya atau sekadar menyapa.
Murid diberi kebebasan berpendapat secara santun. Sebelum mengeluarkan argumen semuanya mengangkat tangan dan setelah dipilih barulah mereka bicara. Di sini para murid dibiasakan menghargai orang lain. Tidak ada yang bicara ketika yang lain sedang berargumen. Mereka juga dilatih berpikir kreatif dan percaya diri. Saya tertegun melihat kedisiplinan dan antusiasme murid-murid di sekolah ini.
Kami juga terlibat langsung dengan kegiatan masyarakat di sini seperti mengikuti kampanye antikekerasan seksual terhadap perempuan, menjadi relawan pada kegiatan “Ten Thousand Villages” (penjualan berbagai handicraft dari selur uh dunia), menjadi relawan di Marigold Cultural Centre (salah satu pusat kebudayaan) di wilayah Truro, diskusi dan nonton bareng beberapa film dokumenter. Kami juga menghabiskan waktu belajar berbagai tarian, lagu daerah, dan bahasa. Peserta dari Indonesia mengajarkan bahasa Indonesia kepada teman-teman Kanada, demikian pula sebaliknya.
Pada One Night in Indonesia (Semalam di Indonesia), malam Minggu lalu berlangsung perpisahan dengan Komunitas Truro di Provinsi Nova Scotia, Kanada. Kami persembahkan saman dance (tari saman) yang juga dikenal dengan “Thousand hands movement” atau “tarian seribu tangan”. Para penonton takjub. Sontak suasana jadi riuh, diringi tepuk tangan yang cukup meriah. Sebagai orang Aceh, saya bangga sekali.

Saya juga merasa cukup beruntung mengikuti program ini. Saya belajar banyak hal yang tidak saya peroleh di bangku kuliah. Salah satunya adalah belajar untuk lebih disiplin dan membiasakan diri terorganisir dalam melakukan suatu hal. Di sini kami belajar bertanggung jawab pada tugas kami. Tidak terasa sudah dua bulan lebih saya berada di belahan bumi bagian utara ini. Bumi maple yang penuh kedamaian, dengan temperatur yang cukup membuat tubuh menggigil. [email penulis: mutia.elviani@gmail.com]

0 komentar:

Posting Komentar