Penanganan Kecelakaan di Taiwan

TAIWAN, selain dinamai Negeri Formosa, juga sohor dengan julukan “Scooter Land” karena saking banyaknya pengguna skuter di negeri ini.
Hampir satu semester kuliah di sini memberi saya banyak pengalaman. Akhir Desember lalu, misalnya, Taiwan sedang musim dingin, ketika saya melihat peristiwa yang cukup menarik tentang kecelakaan lalu lintas. Seperti biasa, setiap Jumat kami menuju Masjid Tainan untuk shalat Jumat. Jaraknya sekitar 20 menit dari Kampus National Cheng Kung University dengan mengayuh sepeda.
Saya dan beberapa teman sedang dalam perjalanan pulang saat terjadi tabrakan antara sebuah mobil dan sepeda motor. Terjadinya persis lima meter di depan mata saat kami sedang berhenti membeli makanan di perempatan Changrong Road dan Dongmeng Road, Tainan City.
Tiga puluh detik berlalu, tak seorang pun terlihat menolong korban yang tergeletak di jalan. Terdorong oleh rasa kemanusiaan, kami bergegas ke tempat kejadian dan berupaya menolong pengendara sepeda motor yang terjatuh dan tak bisa bangun lagi, sementara pemilik mobil ke luar dari mobilnya.
Namun, saat kami coba menolong, beberapa orang berteriak melarang kami menyentuh korban. Dengan diliputi rasa heran dan bingung, kami urungkan niat untuk menolong korban. Lalu terlihat seorang pekerja toko mengatur lalu lintas dan meletakkan tanda pengaman. Sementara beberapa pejalan kaki terlihat seperti menelepon seseorang. Belakangan saya tahu ternyata mereka menelepon ke 119, nomor darurat di Taiwan.
Tak lebih dari lima menit, sebuah ambulans beserta seorang polisi lalu lintas tiba di tempat kejadian. Petugas medis dari PMI-nya Taiwan membawa korban ke rumah sakit dan polisi mengurus kendaraan dan pemilik mobil. Tak ada kemacetan dan kerumunan orang.
Karena masih penasaran, saya langsung bertanya kepada salah satu teman yang merupakan penduduk Taiwan, kenapa tidak boleh menolong korban kecelakaan. Ada beberapa alasan, katanya.  Pertama, alasan keselamatan si korban. Bila korban mengalami patah ataupun trauma, akan lebih berbahaya bagi korban bila ditolong oleh orang yang tak memiliki pengetahuan atau kecakapan untuk menangani korban kecelakaan. Kedua, pihak polisi akan menyisir dan menginvestigasi tempat kejadian perkara, sehingga tidak boleh ada perubahan posisi kendaraan maupun korban dari sesaat setelah kecelakaan, dan hal ini diperlukan untuk proses pengadilan kelak. Tentu saja informasi dari rekaman CCTV juga digunakan.
Teman saya juga mengatakan bila saya mengalami kejadian serupa, hal pertama yang harus dilakukan adalah memeriksa apakah korban masih hidup, lalu secepatnya menelepon ambulans, membantu mengarahkan lalu lintas, dan tetap berada di tempat kejadian sampai polisi dan ambulans tiba.
Hal ini saya rasakan sangat berbeda dengan apa yang biasanya kita lakukan di Aceh. Bila terjadi kejadian serupa, semua orang akan berbondong-bondong memindahkan korban dan membersihkan tempat kejadian. Malah kalau ada darah, langsung dibakar pakai koran atau kardus. Ada yang memindahkan motor atau mobil ke bahu jalan. Ada pula yang langsung melarikan korban ke rumah sakit terdekat dengan kendaraan yang ada. Namun, terkadang juga terjadi perdebatan sengit antara korban dan pelaku. Parahnya lagi terkadang pihak yang menolong menjadi kesusahan karena harus berurusan dengan polisi dan massa yang salah mengerti. Hal ini menjadi dilema bagi masyarakat, antara keinginan untuk berbuat baik dan kekhawatiran akan mendapat masalah. Misalnya, diamuk massa.
Reaksi cepat dari tim medis dan polisi, menurut saya, bisa kita jadikan contoh untuk memperbaiki sistem tanggap darurat khususnya kecelakaan lalu lintas di Aceh. Hal ini masih harus diperbaiki. Perlu ada prosedur dan protokoler yang diedukasi kepada petugas dan masyarakat untuk bersama-sama terlibat dalam kondisi emergensi. Semoga. [email penulis: firmansyah.rachman@gmail.com]

0 komentar:

Posting Komentar