Aceh dan Amerika

KEHADIRAN saya di Oberlin College Cleveland, Negara Bagian Ohio, Amerika Serikat adalah dalam rangka program beasiswa pendidikan antara Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) dengan Oberlin Shansi yang merupakan sebuah lembaga nirlaba AS yang telah berdiri sejak 100 tahun lalu. Salah satu programnya adalah mengirimkan para pelajar maupun staf pengajar baik dari AS ke beberapa negara Asia seperti Cina, India, dan Indonesia, begitu juga sebaliknya dari Asia untuk belajar dan mengambil nilai-nilai di Oberlin College, Ohio.
Cleveland merupakan kota nomor dua terbesar di Negara Bagian Ohio dan kota nomor 45 terbesar di United State. Dari bandara saya menuju Kampus Oberlin menggunakan mobil yang dikendarai sang mahasiswa tersebut. Setelah menempuh perjalanan kurang lebih 20 menit, akhirnya kami tiba di Kampus Oberlin, tepatnya di Shansi House. Di sini saya bertemu peserta dari India, dua dari Cina yang baru saja tiba beberapa hari lalu, dan seorang pelajar yang berasal dari Jakarta. Dia pelajar yang sudah dua tahun belajar di Oberlin.
Oberlin College didirikan tahun 1833 oleh seorang misionaris. Sebuah lembaga pendidikan yang terletak di sebuah kota yang bernama Oberlin. Meskipun kota kecil, saya melihat masyarakatnya punya kebiasaan yang sama dengan kita di Aceh, yaitu minum kopi. Sepertinya masyarakat Oberlin atau warga AS sangat suka dengan kopi, tanpa memandang usia dan jenis kelamin. Saya pernah bertanya berapa gelas Anda habiskan kopi dalam sehari? Dia menjawab bergelas-gelas. Hal ini sama seperti kebiasaan kebanyakan masyarakat kita di Aceh. Tapi bedanya, masyarakat kita di Aceh dengan berbekal segelas kopi lima jam ngobrol di warung kopi. Tapi kalau mereka biasanya minum kopi sambil bekerja, membaca buku, meeting, atau kegiatan lain sehingga waktunya tidak terbuang sia-sia.
Selain minum kopi masyarakat di sini sangat antusias membaca. Mereka dapat membaca tidak hanya di ruang-ruang bacaan formal, tetapi terbiasa membaca dengan leluasa di tengah lapangan, taman, atau kafw bahkan sambil melakukan aktivitas di ruang olah raga. Kelihatannya mereka sangat menyadari bahwa waktu adalah uang atau waktu adalah pedang, sehingga mereka tidak sedikit pun ingin membuang-buang waktu untuk hal-hal yang kurang berguna.
Selain tertarik dengan kebiasaan masyarakat setempat, saya juga sangat tertarik dengan bagaimana fasilitas dan pelayanan kampus ini terhadap penyandang disabilitas. Lewat salah satu nilai dasar mereka, yaitu inklusif yang meyakini bahwa setiap pelajar tanpa memperhatikan latar belakang mereka, etnis, dan jenis kelamin harus mampu berpartisipasi dalam semua aktivitas di kampus ini. Dengan nilai dasar ini maka sangatlah mudah bagi kita menemukan infrastruktur yang diperuntukkan bagi mereka yang mengalami disabilitas baik tunanetra, rungu, atau tunadaksa. Fasilitas-fasilitas ini, antara lain, tersedianya akses jalan landai pengganti tangga untuk pelajar yang menggunakan kursi roda, toilet khusus untuk penyandang disabilitas, huruf Braille di setiap tombol lift hingga parkir khusus penyandang disabilitas.
Selain fasilitas di atas, Oberlin College juga memiliki pusat layanan bagi penyandang disabilitas di mana institusi ini mempunyai misi memberikan pelayanan akses terhadap semua kegiatan yang ada di kampus mulai dari aktivitas belajar formal maupun nonformal. Lebih mengagumkan lagi misi mereka tidak hanya ingin membantu para penyandang disabilitas ketika berada di kampus saat ini, tetapi lebih dari itu Pusat Layanan Penyandang Disabilitas ini berharap dapat membantu mengembangkan kemampuan pengembangan diri mereka yang akan dibutuhkan di masa depan.
Ini penting terlebih buat kita di Indonesia, khususnya Aceh, meskipun sudah ada undang-undang yang mengisyaratkan setiap perusahaan wajib mempekerjakan satu penyandang disabilitas dari 100 orang pekerja. Tapi nyatanya banyak sekali cerita yang kita dengar bahwa para penyandang disabilitas tidak mendapat tempat untuk bekerja di sektor formal sehingga kita akan melihat tunanetra buka klinik pijat, sedangkan yang tunarungu membuka usaha konveksi. Padahal, lebih dari itu mereka dapat melakukan hal yang bisa dilakukan orang pada umumnya. Dengan kebijakan ini, saya lihat beberapa orang pengajar di kampus ini berasal dari kalangan disabilitas. Tampak sekali mereka berusaha memberikan dukungan optimal karena meyakini bahwa kelompok penyandang disabilitas juga memiliki potensi dan kemampuan yang sama jika diberikan dukungan dan fasilitas yang memadai.
Semoga laporan sederhana ini dapat memberi inspirasi kepada kita bahwa di negeri sekuler ini banyak dianut dan dipraktikkan nilai yang di dalam Islam justru sangat dianjurkan dan disabilitas yang mereka miliki bukanlah penghalang untuk berprestasi dan mengabdikan diri untuk negerinya. 
[email penulis: harri_uma81@yahoo.com]

0 komentar:

Posting Komentar