Budaya Mengalah pada Masyarakat Jepang

SEBAGAI mahasiswi, saat ini saya dan seorang senior saya dari FKIP Biologi Universitas Syiah Kuala (Isratul Izzah) sedang mengikuti Program Pertukaran Mahasiswa di University of Fukui, Jepang, selama setahun terhitung sejak 27 September 2013, melalui program University of Fukui Student Exchange Program (UFSEP).
Ini merupakan pertama kalinya bagi kami berdua menginjakkan kaki di Negeri Sakura. Terbang sejak 26 September 2013 sore dari Banda Aceh-Jakarta-Denpasar-Osaka (Kansai International Airport/KIX) memakan waktu sekitar sepuluh jam (karena dua kali transit) dan alhamdulillah kami sampai di Osaka pukul 08.15 waktu setempat.
Setiba di Osaka, kami ke luar dari pesawat langsung disambut dengan senyuman ramah petugas bandara. Begitu pula saat di imigrasi dan pengambilan bagasi. Semua mereka membantu dan menyambut kami dengan baik walaupun dengan bahasa Inggris yang terbatas. Ketika kami kesulitan menghubungi pihak University of Fukui melalui telepon umum, kami disapa oleh mahasiswa S3 Osaka University yang bisa berbahasa Indonesia meski terbata-bata. Namanya Aki Tomita. Aki-san menawarkan handphone-nya. Dia bahkan mengantar kami hingga naik kereta menuju Stasiun Fukui. Ini keramahan yang mengesankan.
Di dalam kereta api, setiap petugas yang ingin memeriksa tiket penumpang masuk dengan membungkukkan badan dan tersenyum ramah seraya berkata shitsureishimashita (permisi) ketika masuk dan berkata arigatou gozaimashita (terima kasih banyak) dua kali sebelum meninggalkan gerbong. Kami berdua belum pernah melihat keramahtamahan seperti itu sebelumnya.
Sesampai di gerbang University of Fukui, kami disambut oleh dua orang mahasiswi Fukui (Mayu-san dan Chika-san). Ternyata mereka hanya bisa sedikit berbicara bahasa Inggris, sedangkan kami masih awam dengan bahasa Jepang. Akhirnya, bahasa isyarat pun kami gunakan. Meski demikian, hingga saat ini pun mereka berdua sangat ramah dan selalu berusaha menolong kami ketika berada dalam kesulitan, antara lain, karena keterbatasan kami berbahasa Jepang. Sering kita dengar orang-orang Jepang terkenal dengan ketepatan waktunya dan budaya antrenya. Tapi sebetulnya, orang Jepang juga merupakan komunitasa yang suka mengalah. Hal ini saya alami sendiri dan saya lihat dalam beberapa kejadian sehari-hari. Ketika suatu waktu saya bersepeda dengan Ketua Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Fukui (Pak I Nyoman Sudiana), tiba-tiba kami berpapasan searah dengan sepeda lain yang dikendarai seorang laki-laki. Saya refleks menghindar, tapi tanpa diduga ternyata laki-laki itu juga menghindar ke arah yang sama. Saya hanya bisa menganggukkan kepala dan berkata gomennasai (maaf). Kemudian Pak Nyoman berkata, “Lain kali kamu jangan menghindar, karena kamu perempuan. Laki-lakilah yang seharusnya menghindar.” Ternyata di Jepang, perempuan, anak kecil, lansia, dan penyandang disability dianggap lemah, maka harus diperlakukan khusus.
Di lain waku kami bersepeda dan terhenti karena ada kereta api yang akan lewat, sementara di samping saya ada mobil dan bus umum. Ketika kereta api sudah lewat dan portal kembali dibuka, sopir busnya mempersilakan kami yang bersepeda untuk lewat duluan.
Pada hari lainnya pun demikian, ketika saya lihat ada mobil dan bus berpapasan ingin jalan, sopir bus berhenti dan mempersilakan mobil itu untuk lewat duluan. Hal-hal di atas jarang saya temui di Indonesia, bahkan di Aceh yang masyarakatnya bertamaddun tinggi.
Sungguh banyak pesan baik yang dapat kita contoh dari bangsa Jepang. Semoga bermanfaat. [email penulis: ms.pocutshaliha@gmail.com]

0 komentar:

Posting Komentar