Kota Cherry

SEJAK awal Februari lalu saya mengikuti DAAD Alumni Winter School, sebuah even untuk alumni penerima beasiswa DAAD Jerman dengan bidang keahlian yang sama berkumpul, menambah pengetahuan dan jaringan untuk pengembangan karier mereka.
Winter School kali ini memiliki tema Quality and added value chain of organic products in developing countries. Diikuti oleh 25 peserta yang berasal dari berbagai negara seperti Thailand, Indonesia, Kirgistan, Brazil, Meksiko, Ekuador, Ethiopia, Iran, Pakistan, India, dan Kolumbia. Menariknya, para peserta memiliki tingkat pendidikan dan pekerjaan beragam yang notabene masih berhubungan dengan pertanian dan pangan. Misalnya, para peneliti, dosen, auditor, pengusaha, distributor bibit, manajer mutu, dan sebagainya.
Awalnya, kegiatan berlangsung di Witzenhausen, desa kecil di sebelah barat Frankfurt dengan total penduduk 17.000 jiwa. University of Kassel sebagai tuan rumah kegiatan memiliki “satellite campus” di kota ini yang khusus berorientasi pada penelitian pertanian organik dan berkelanjutan seperti teknologi pertanian ramah lingkungan, hortikultura, penelitian tanaman tropis, dan energi terbarukan.
Menariknya lagi, Witzenhausen juga satu-satunya kota yang memiliki kebun cherry terluas di Jerman bahkan di Eropa dengan hampir 1.300 jenis species ditanam di lahan warganya. Kombinasi unik ini mengharumkan nama Witzenhausen sebagai kota universitas terkecil di Jerman yang terdepan dalam penelitian tentang pertanian berkelanjutan dan juga sebagai “Kota Cherry” atau Kirschenstadt. Dari Witzenhausen ini pula dimulai pemisahan sampah organik dan nonorganik serta pengguna bin atau tong sampah hijau sebagai tempat sampah organik yang kini digunakan di seluruh Jerman. Jadi, kota ini sudah menginspirasi “gerakan hijau” untuk seluruh Jerman.
Kegiatan Winter School di Witzenhausen ini berlangsung seminggu sejak 3-10 Februari 2014 dengan aktivitas yang beragam seperti seminar, workshop, dan kunjungan ke lahan pertanian, distributor, dan industri pangan yang semuanya berbasis organik.
Banyak hal menarik yang saya dapati dalam kunjungan ini. Salah satunya adalah bagaimana para pelaku industri organik ini menerapkan prinsip sustainability atau keberlanjutan dalam industri ini. 
Herr Oliver, MiBusa Manager Director memahami sustainability sebagai sebuah investasi dengan penerapan teknologi canggih ramah lingkungan, menggunakan kembali energi panas yang dihasilkan oleh gudang pendingin sebagai sumber energy listrik, penggunaan sensor panas tubuh dalam electricity system, sehingga lampu LED akan on atau off dengan sendirinya ±15 detik sejak kita masuk atau meninggalkan ruangan. Menurutnya, investasi ini bukan hanya mengurangi dampak lingkungan tetapi juga mengurangi biaya pemeliharaan dan operasi yang ujungnya menguntungkan perusahaan.
Naturkosten Elkerhausen, perusahaan distributor buah dan sayuran segar mendefinisikan sustainability sebagai hubungan jangka panjang, kekeluargaan antara perusahaan dengan supplier dan konsumen, sehingga mereka menginvestasikan dana dan waktu dalam bentuk silaturahmi, menciptakan ikatan emosional yang erat antara pemasok dan konsumen dalam bentuk post card, cerita pendek, dan lainnya.
Lebih menarik lagi adalah pengertian pertanian berkelanjutan oleh petani organik di Dottenfelderhof. Dottenfelderhof memiliki lahan seluas 1.000 ha yang dikelola oleh tujuh keluarga berjumlah 117 orang yang ditanami berbagai jenis gandum sesuai musim, kentang, wortel, dan jenis sayuran lainnya. Selain itu, sapi perah, sapi potong, dan ayam petelur juga dipelihara dengan jumlah tertentu.
Frau Margareth Hinterlang, salah seorang petani senior mengatakan bahwa dalam sebuah sistem pertanian, manusia, tanaman, dan hewan ternak hidup berdampingan dan saling membutuhkan. Jika salah satu dihilangkan maka sistem tersebut akan timpang. “Oleh karena itu, kami di sini memelihara hewan ternak yang akan membantu kami menyuburkan lahan dan juga menyediakan kami daging dan susu, menanam gandum, buah, dan sayur lalu menjualnya di sini. Konsumen datang dan membeli keju, roti, dan produk kami di depan dan jika mereka mau, mereka dapat melihat dari mana susu itu diperoleh, bagaimana kentang itu disimpan. Itu adalah hak konsumen dan kami akan dengan senang hati memperlihatkannya,” kata Hinterlang.
Mengunjungi dan berkomunikasi langsung dengan para pelaku pasar pertanian di sini, mengingatkan saya dengan kampung halaman, Aceh. Tergambar jelas di pikiran saya blue print pertanian Aceh yang sukses jika pemahaman seperti di atas dimiliki oleh pelaku pasar produk pertanian kita. Selain menjaga bumi dan lingkungan kita yang semakin lama sudah semakin rusak, sistem pertanian berkelanjutan juga memberikan produk pangan yang lebih sehat untuk kita konsumsi. Semoga. 
[email penulis: hasni.dian84@gmail.com]

0 komentar:

Posting Komentar