Sumalee di Thailand, Meuligoe Wali di Aceh

SEMULA, kedatangan saya ke Thailand adalah untuk riset Jurnalisme SMS. Praktik jurnalisme ini menjadikan masyarakat bak wartawan sekaligus penikmat berita yang menulis, menyunting, serta mendiseminasikan segala peristiwa yang mereka lihat melalui fitur layanan pesan singkat (SMS). Atas dukungan USAID, Kemitraan, dan Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP), saya bersama sejumlah teman sedang mengembangkan Jurnalisme SMS menjadi satu sistem pemantauan pelayanan publik di Sumatera dan NTT.
Selama di Thailand, saya juga menemukan satu cerita lain yang terkait isu pelayanan publik. Adalah Sumalee Limpa Owart, seorang ibu rumah tangga, pemilik cerita itu. Putri kesayangannya dinyatakan tak lulus ujian masuk Demonstration School, sekolah favorit Thailand di bawah binaan Universitas Kasetsart. Padahal, menurut Sumalee, sang anak mampu menyelesaikan soal ujian dengan baik. Permintaannya untuk melihat hasil ujian masuk ditolak pihak sekolah.
Berbekal Official Information Act (OIA) 1997--layaknya Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) kalau di Indonesia--Sumalee pun mengajukan gugatan kepada Official Information Commission (OIC)  agar Universitas Kasetsart membuka nilai seluruh siswa yang dinyatakan lulus. OIC adalah lembaga yang didirikan Pemerintah Thailand untuk memberi jaminan rakyat mendapatkan informasi publik.
Rektor Kasetsart menolak permintaan Sumalee dengan alasan universitas harus memperoleh petunjuk lebih dulu dari instansi pemerintah terkait. Kata rektor, harus menunggu izin dari Menteri Urusan Universitas dan Kejaksaan Agung. Keengganan rektor berbuah perdebatan berlarut, malah menjadi agenda nasional dan rapat kabinet. OIC bahkan harus membentuk Information Disclosure Tribunal (IDT) for Social Information untuk menuntaskan hal ini.
Setelah perdebatan panjang, akhirnya Pak Rektor terpaksa tunduk. IDT bahkan mengharuskannya tak cuma membuka nilai para siswa, tapi bahkan seluruh lembar jawaban ujian masuk. Perjuangan Sumalee pun menjadi buah bibir dan mengguncang sistem pendidikan Thailand. Orang-orang membicarakan Demonstration School dengan nada minor. Berkembang isu bahwa banyak orang tua dari anak-anak keluarga terpandang--dalam bahasa Thailand disebut dek sen--memasukkan anaknya ke sekolah ini dengan berbagai cara.
Nah, ketika semua dokumen ujian dibuka, terbukti Nathanich, putri Sumalee, memang tidak lulus, karena nilai ujiannya buruk. Sebaliknya, 120 siswa yang berhasil masuk memenuhi syarat karena nilainya cukup. Namun, ada temuan lain, ada indikasi “sumbangan” sejumlah orang tua yang menginginkan anaknya diterima di sekolah tersebut.
Begitupun, persoalan belum selesai. Orang tua murid yang nilai ujian putra-putrinya dibuka ke publik menggugat balik. OIC dan IDT dituding tak wenang memerintahkan Demonstration School membuka hasil ujian ke publik, sebab hasil ujian itu adalah dokumen rahasia/hak pribadi.
“Mungkin mereka malu, sebab ada sebagian di antaranya dek sen,” ujar Chaiwat Nakorn yang hingga kini masih mengingat peristiwa gugatan Sumalee itu. Dari Nakornlah saya mendengar cerita ini pertama kali. Ia pegawai salah satu hotel di Pantai Ao Nang, Krabi. Saat saya bersiap-siap menuju Hong Island, satu di antara sejumlah destinasi wisata yang diminati para pelancong bila ke Thailand, Nakorn bercerita panjang lebar soal Sumalee. Di sela-sela riset, saya menyempatkan diri untuk ikut melancong juga.
Bermodal cerita Nakorn, saya coba cari informasi lebih detail. Dalam banyak dokumen soal keterbukaan informasi publik di Thailand, kisah Sumalee sering jadi referensi. Pantas Nakorn pun masih mengingatnya.
Nakorn tak abai pula soal kemenangan OIC atas para penggugat. Berdasarkan Official Information Act 1997 yang memberikan hak kepada semua warga Thailand untuk melihat, menerima, dan memiliki salinan dokumen publik, Mahkamah Agung memutuskan OIC punya kewenangan memerintahkan Universitas Kasetsart membuka semua lembar jawaban ujian masuk. Gugatan orang tua para dek sen ditolak.
Kisah Sumalee bukan cerita baru. Peristiwa ini terjadi tahun 1998, namun hingga kini masih dikenang orang Thailand, karena ia pionir di bidang ini. Tanpa Sumalee, bisa jadi tak banyak warga Thailand yang sadar bahwa mereka memiliki hak atas berbagai informasi pemerintah.
Lantas, kisah Sumalee mengingatkan saya pada Askhalani, Isra Safril, dan aktivis GeRAK lainnya. Ketika meminta daftar nama anggota DPRA yang ogah mengembalikan dana Tunjangan Komunikasi Intensif (TKI) ke kas negara, mereka menjadi “orang pertama” di Aceh yang meminta informasi (hingga ke tingkat ajudikasi) menggunakan UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang KIP. Begitu juga Koalisi NGO HAM ketika menyoal data korban konflik pada Dinsos Aceh. UU tersebut memberi justifikasi bagi masyarakat untuk meminta dan memperoleh informasi dari setiap institusi negara. Saya beruntung menemukan kisah tentang Sumalee, ibu rumah tangga yang gigih itu.
Anda bagaimana, tidakkah Sumalee menginspirasi bahwa Anda pun berhak atas berbagai informasi pemerintah? Anda boleh bertanya soal rekrutmen CPNS, laporan keuangan PKA 6 yang baru saja usai. Atau malah ingin tahu detail soal manfaat dan budget pembangunan Meuligoe Wali yang megah. Juga rincian dana pengukuhannya kelak yang Rp 2,4 miliar itu. Cari tahu saja, toh Anda memang berhak untuk tahu! 
[email penulis: fairus_mainuri@yahoo.com]

0 komentar:

Posting Komentar