Sekolah yang Menyenangkan

DUA bulan sudah saya jejakkan kaki di negeri adikuasa ini. Tepatnya di Danville, Indiana, Amerika Serikat (AS). Penduduk kota kecil ini hanya 9.000 jiwa. Sangat kecil jika dibandingkan dengan Banda Aceh yang berpenduduk 223.446 jiwa berdasarkan Sensus Penduduk 2010.
Suasana rural agraris begitu terasa di Kota Danville ini. Sangat asri dan jauh dari polusi udara maupun suara. Di kota ini saya studi di sebuah SMA bernama Danville Community High School (DCHS), sekolah negeri (public school) yang muridnya sekitar 800 orang. DCHS merupakan satu-satunya sekolah menengah atas di kota ini.
Sistem pendidikan AS memiliki banyak perbedaan dibandingkan dengan sistem pendidikan yang diterapkan di Indonesia. Tiap state atau negara bagian memiliki sistem pendidikan sedikit berbeda antara satu dengan yang lain. Hal ini terkait pula dengan kebutuhan yang berbeda pada setiap negara bagian mengenai pendidikan. SMA di AS terdiri atas empat tingkat, dimulai dari kelas 9 sampai kelas 12.
Secara umum, sekolah di AS menganut sistem moving class. Setiap siswa berpindah kelas sesuai dengan jadwal mata pelajaran. Jam pelajaran pertama DCHS dimulai pukul 07.45 dan sekolah berakhir pukul 15.35 waktu setempat. Siswa diberi waktu lima menit di setiap pergantian kelas untuk mengambil buku di loker dan bersiap-siap untuk mengikuti pelajaran berikutnya.
Setiap siswa di DCHS diberi kebebasan untuk memilih tujuh mata pelajaran yang ingin dipelajari di setiap semester. Bagi saya, hal ini sangat logis, mengingat setiap siswa akan menempuh jalur karier yang berbeda nantinya sesuai dengan skill yang mereka miliki.
Sekolah juga mengajarkan mata pelajaran yang tidak terlalu terpaku pada hal-hal bersifat akademis. Sebagai contoh, di DCHS terdapat kelas melukis, menggambar, memasak, paduan suara (choir), media massa, fotografi, kerajinan tangan keramik, retorika (public speaking), bisnis, dan beberapa kelas lain. Saya mengambil kelas prakalkulus (pre-calculus), melukis, paduan suara, ekonomi, media massa, fisika, dan bahasa Inggris pada semester ini yang alhamdulillah masih mendapat grade yang tidak mengecewakan.
Di kelas sains, pemahaman terhadap konsep dalam kehidupan lebih difokuskan daripada kemampuan menjawab soal secara matematis. Siswa lebih dituntut untuk memahami konsep daripada menghafal rumus. Bahkan di setiap tes (ulangan) fisika saya, rumus-rumus yang berkaitan dengan bab yang diujikan diterakan di papan tulis oleh guru bersangkutan. Soal-soal yang menuntut pemahaman mendalam terhadap konsep yang diajarkan lebih mendominasi dibandingkan soal-soal yang berhubungan dengan angka.
Kelas-kelas bermata pelajaran sains di DCHS merupakan laboratorium-laboratorium dengan berbagai alat praktikum, mengingat sains lebih mudah dipahami dengan praktik daripada hanya dengan penjabaran teori. Kelas paduan suara merupakan ruangan yang dilengkapi karpet kedap suara pada dinding kelasnya plus sebuah keyboard untuk guru.
Di kelas melukis terdapat kanvas-kanvas dalam berbagai ukuran, berbagai jenis cat, dan berbagai jenis kuas yang dapat digunakan siswa dalam mata pelajaran tersebut.
Lain lagi dengan kelas media massa/kelas fotografi yang dilengkapi 20 komputer, beberapa handycam, kamera, tripod, dan peralatan lain yang berkaitan dengan pelajaran tersebut untuk digunakan siswa dalam menyelesaikan project yang ditugaskan setiap minggunya.
Setiap peserta didik dan guru di DCHS difasilitasi sebuah iPad (tablet PC keluaran Apple Inc) selama mereka menjadi siswa atau guru di sekolah ini. iPad-iPad tersebut telah diatur sedemikian rupa sehingga para pengguna tak bisa mengakses hal-hal di luar keperluan sekolah, seperti situs jejaring sosial, situs yang berisi game, situs yang mengandung pornografi, perjudian, dan situs lainnya. Ini sangat membantu dalam kegiatan belajar-mengajar. Pserta didik lebih sering mencatat menggunakan iPad ketimbang memakai buku catatan.
DCHS juga dilengkapi lapangan American football, beberapa lapangan tenis, kolam renang (indoor), dua ruang olahraga, ruang auditorium, dan lapangan baseball. Sungguh, sebuah sekolah yang menyenangkan bagi siapa pun yang ingin benar-benar menimba ilmu. Tapi serbalengkapnya fasilitas di DCHS ini bukanlah hal yang mengejutkan bagi saya, mengingat sekolah-sekolah negeri di AS memang memiliki sarana belajar sangat memadai yang difasilitasi pemerintah.
Kita di Indonesia, juga Aceh, memang tertinggal jauh jika dilihat dari segi pendidikan, mengingat banyaknya jumlah sekolah tak layak yang tersebar di seantero nanggroe. Tapi tanpa berputus asa, saya pribadi yakin bahwa Indonesia masih bisa mengatasi ketertinggalannya suatu hari nanti. Nasi memang sudah menjadi bubur, tapi bukan berarti padi di sawah akan menjadi bubur juga di kemudian hari. [email penulis: dan_razy@yahoo.com]

0 komentar:

Posting Komentar