Hantu di Asrama Mahasiswa Korea

SETELAH dua bulan belajar di “Negeri Ginseng” langsung sangat terasa perbedaan sistem belajar di sini dibandingkan dengan kita di Aceh. Selama belajar bahasa di Korea Selatan (Korsel) di Geumgang University, saya tinggal di asrama kampus. Kehidupan asrama merupakan hal yang baru bagi saya, karena selama menempuh pendidikan saya belum pernah masuk asrama.
Untuk mempercepat proses belajar setiap mahasiswa asing ditempatkan satu kamar bersama mahasiswa Korea. Ada yang cocok temannya, tapi ada juga yang setelah beberapa minggu terpaksa berganti roommate dan kamar, karena saling tidak cocok dan terjadi benturan budaya.
Tapi secara kebetulan saya mendapatkan teman sekamar yang cukup baik. Rumahnya tak jauh dari kampus, tapi ia memilih tinggal di asrama. Namanya Kim Seon Jeom, cuma saya memanggilnya Olivia. Dia menjelaskan banyak hal tentang kampus dan peraturan asrama. Berbeda dengan sistem belajar Jepang yang mengenal sistem tidur siang, tidak demikian halnya di Korea. Mahasiswa di sini akan terus beraktivitas sampai tengah malam, namun tak jarang dari mereka mencuri waktu untuk tidur di perpustakaan.
Geumgang University merupakan kampus baru yang usianya sekitar sepuluh tahun. Letak kampus ini di Chungcheongnam-do, Nonsan, tepatnya di kaki Gunung Gyeryong. Tempat ini dianggap keramat oleh masyarakatnya.
Tinggal di tempat yang dianggap keramat tentu saja banyak cerita mistik yang beredar. Termasuk isu tentang guesyin atau hantu di kampus dan di asrama. Olivia bercerita kalau di kampus, terlebih di asrama, terkadang ada hantu yang suka menampakkan diri dan terekam oleh kamera CCTV.
Hampir seluruh area kampus memiliki CCTV, kecuali ruang kamar dan kamar mandi. Saat malam tiba keadaan kampus menjadi sangat sepi dan beberapa lampu penerang hanya menyala dengan sensor. Ini membuat suasana kampus semakin seram dan mistis.
Beberapa pelajar asing yang mengalami peristiwa aneh berlomba-lomba bercerita. Namun, tentang asrama tentunya bukan hanya tentang cerita hantu.
Memenuhi Night Roll Call adalah salah satu peraturan asrama. Ini dilakukan untuk memeriksa apakah ada mahasiswa yang menghilang atau pergi tanpa permisi. Pengecekan ini biasanya dilakukan setiap pukul 23.30 untuk memastikan semua penghuni sudah berada di asrama pada waktu tersebut. Tiga kali melewatkan panggilan itu, maka akan diberikan peringatan. Pintu asrama akan terkunci secara otomatis pada pukul 24.00 walaupun masing-masing penghuni memiliki kunci elektrik. Pintu utama asrama tak akan terbuka di atas jam tersebut.
Walaupun Korsel merupakan negara yang bebas, namun tetap saja laki-laki tak boleh berkeliaran di asrama perempuan di atas pukul 20.00. Tidak ada istilah sembunyi-sembunyi, karena setiap jengkal pekarangan asrama terekam CCTV. Ruang yang agak bebas digunakan untuk jumpa teman lain jenis adalah basement, namun itu pun hanya sampai pukul 24.00.
Saat awal di sini saya harus pula terbiasa menundukkan kepala dan berhenti sambil mengucapkan anenyong haseyo (sapaan) kepada semua orang yang lewat. Menurut Olivia, di Korea ini kebiasaannya wajib orang muda yang duluan menyapa. Demikian pula bagi junior yang tahun pertama tinggal di asrama. Kalau melewatkannya kita dianggap kurang sopan.
Orang Korsel terkenal dengan kebiasaan mereka minum soju atau moksoli (alkohol khas Korea, terbuat dari beras). Namun, tidak ada yang boleh membawanya ke kamar. Mereka hanya boleh minum di jiha atau basement sambil berkumpul dan biasanya makan pork (babi). Soalnya, itulah daging yang paling murah di Korsel.
Namun, merokok merupakan hal yang terlarang. Yang ingin merokok haruslah ke luar dari arena kampus.  Tak banyak mahasiswa muslim di sekolah ini. Hanya lima pelajar asing yang muslim di sini. Awalnya sulit untuk menjelaskan bahwa muslim tidak bisa minum minuman keras dan makan pork. Namun, lama-kelamaan mereka terbiasa dan malah mengingatkan bahwa makanan tertentu mengandung lemak/daging babi atau minuman tertentu mengandung alkohol, sehingga tak bisa dikonsumsi oleh muslim. Kebanyakan penduduk Korsel tak beragama, sebagian lainnya adalah Budha dan Kristen. Di sekeliling kampus ada beberapa temple dan di desa terdekat ada sebuah gereja bahkan terkadang sampai tengah malam masih terdengar musik tradisional yang dimainkan oleh para saman (pengusir roh jahat) di desa.

Suara azan tidak pernah terdengar di sini. Namun, beruntung bagi saya, Olivia pernah menonton film My Name is Khan, sehingga tidak begitu sulit menjelaskan padanya bahwa saya muslim. 
[email penulis: red_five_italy@yahoo.com]

0 komentar:

Posting Komentar