Makanan Halal di Jalanan New York

LIBUR tengah semester baru-baru ini di Oberlin College, tempat saya kuliah di Amerika Serikat (AS), saya gunakan untuk mengunjungi kota tersibuk di AS, yaitu New York dan Washington DC. Bersama tiga teman asal India dan Cina, saya naik pesawat dari Bandara John Hopkin, Cleveland, menuju Bandara La Guardia New York. Bandara ini khusus untuk penerbangan lokal, sedangkan untuk penerbangan internasional bandaranya adalah John F Kennedy Airport.
Setiba di New York, kami langsung menuju pusat Kota New York. Di tempat ini kami kunjungi banyak tempat menarik. Di antaranya, Museum of Natural History, Metropolitan Museum of Art, Central Park, Empire State Building, Statue of Liberty, WTC, dan Gedung PBB.
Selain tempat-tempat menarik itu, ada hal lain yang membuat saya merasa lebih nyaman, yaitu mudahnya menikmati makanan halal di sekitaran Kota New York. Ada banyak penjual makanan halal “kaki lima” di sini. Mereka rata-rata berasal dari wilayah Arab dan Turki. Menu yang disajikan juga cukup variatif dengan harga terjangkau. Mulai dari kebab daging sapi, kebab daging kambing, hingga nasi Arab.
Di sisi lain, Kota New York adalah salah satu kota di AS yang sangat mendukung perkembangan Islam. Sebagai contoh, di New York komunitas muslim semakin mendapatkan tempat yang setaraf dengan kelompok-kelompok lainnya. Ada sekitar 1.700-an anggota Kepolisian Daerah New York yang beragama Islam, termasuk polisi wanita, dengan kebebasan menjalankan agama yang diyakininya, termasuk mengenakan hijab bagi polisi wanita di New York.
Berkaca dari keadaan ini, saya merasa miris, sebab di Indonesia selain Aceh, polisi wanita kita tidak dapat memenuhi syariat berhijab ini. Mudah-mudahan ini dapat menjadi pelajaran bagi pengambil keputusan di negeri kita. Di Kota New York, saya putuskan untuk menginap di rumah salah satu orang Aceh berasal dari Idi, yaitu Pak Ibrahim.
Dia sudah menetap dan bekerja di AS sekitar 20 tahun. Saya dan seorang rekan dari India dia bawa untuk menginap di rumahnya. Istrinya Dewi, seorang mualaf asal Prancis Karibian yang sudah fasih berbahasa Indonesia dan sedikit mahir berbicara bahasa Aceh. Pasangan rukun ini punya dua anak perempuan, Aisyah dan Annisa. Meski sudah bertahun-tahun tinggal di negeri orang, sikap Pak Ibrahim dan keluarga sangat tidak berbeda dengan orang Aceh pada umumnya. Peumulia jamee adalah sikap kolektif mereka sekeluarga. Meski saya tak kenal mereka sebelumnya, tapi saya rasakan beliau sangat menerima kedatangan kami.
Selain tinggal dan bertemu dengan Pak Ibrahim dan Kak Dewi, hal lain yang sangat menggembirakan buat saya adalah bersilaturahmi dengan tokoh Islam asal Indonesia di Kantor Perwakilan Indonesia di PBB. Beliau adalah Imam Syamsi Ali, cendekiawan muslim asal Indonesia yang memiliki peran penting dalam hubungan komunitas Islam di New York dengan Pemerintah AS, khususnya New York City dan Kepolisian Daerah New York, apalagi setelah kejadian 9 September 2001.
Lewat tulisannya saya telah mengenal sosok beliau sepuluh tahun lalu ketika saya masih bersekolah di SMA Negeri 16 Medan.  Ayah lima anak ini adalah imam dan Ketua Yayasan Masjid Al-Hikmah yang didirikan muslim Indonesia di Astoria. Ia juga Direktur Jamaica Muslim Center di Queens, New York. Beliau juga merupakan salah seorang inisiator pembangunan Masjid Grand Zero, masjid yang berada beberapa blok dari tempat terjadinya peristiwa 9 September.

Setelah berada beberapa hari di New York, saya lanjutkan perjalanan ke Washington DC. Perjalanan ini dibayang-bayangi shut down-nya Pemerintah Federal Amerika Serikat, tapi alhamdulillah kami tiba setelah dibukanya kembali Pemerintah Federal AS. Berbeda dengan New York hampir semua Museum di Washington DC tidak memungut bayaran untuk masuk alias gratis mulai dari Air and Space Museum, Museum of American History hingga museum yang berada di dalam Gedung Capitol. Setelah mengelilingi Washington DC beberapa hari kami akhirnya kembali ke Oberlin Ohio melalui Bandara Internasional Baltimore. [email penulis: harri_uma81@yahoo.com]

0 komentar:

Posting Komentar