Restoran Halal di Shanghai

KESEMPATAN untuk hadir dalam seminar internasional bidang lingkungan hidup dirangkai dengan tur wisata yang difasilitasi oleh panitia ke Kota Shanghai, tentu tidak saya sia-siakan. Jumat lalu, saat tiba di kota ini, saya langsung mengaguminya.
Bayangan bahwa kota ini seperti kebanyakan film-film Cina yang divisualkan banyak rumahnya yang bergaya kuno dan klasik, ternyata keliru. Shanghai justru merupakan kota termaju di Cina, diikuti Beijing sebagai pusat ibu kota negara. 
Ada banyak gedung pencakar langit, jalan tol, serta jalan-jalan layang di Shanghai yang akan membuat kita berdecak kagum. Tak hanya itu, fasilitas transportasi yang nyaman dan modern pun bisa menjadi pilihan di kota yang mendapat julukan metropolis ini.
Kota berpendududuk ramah, barangkali julukan yang tepat disematkan terhadap kota terpadat di Cina ini. Dari beberapa pengalaman yang saya alami, mereka senang dan ingin sekali dapat membantu orang yang sedang kesulitan, terutama mereka yang menguasai hanya sedikit bahasa Inggris. Saat pertama tiba di bandara, saya benar-benar kesulitan untuk menghubungi kawan di Shanghai. Maklum saja, hampir semua keterangan fasilitas umum di kota ini ditulis dalam bahasa Mandarin. Namun, dengan senang hati mereka menawari saya telepon genggam untuk berkomunikasi.
Masih di stasiun kereta api, saat ribuan orang berlalu lalang, pertanyaan di mana saya harus beli tiket, di mana saya harus naik kereta dan sebagainya, muncul seiring munculnya kepanikan di benak saya. Tapi untungnya lagi, masih ada saja warga Shanghai yang membantu dan mengarahkan saya hingga naik mulus ke atas kereta. Tampaknya, pendidikan dan keterbukaan, sedikit banyaknya telah mengubah budaya tertutup masyarakat di salah satu provinsi yang negaranya dikuasai partai komunis ini.   
Tiba di tempat yang dituju, kedatangan saya telah ditunggu oleh Zakaria, staf pengajar Jurusan Fisika Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) yang sedang mengambil program magister di Kota Shanghai. Sebagai seorang muslim, hal pertama yang saya pikirkan adalah masjid dan tentu saja rumah makan berlabel halal. Untuk itu, Zakaria mengajak saya berkunjung ke salah satu restoran muslim yang ada di sekitar Universitas Tongji.
Ternyata untuk memukan restoran muslim di Shanghai ini tidaklah begitu sulit. Menurut Zakaria, ada banyak restoran muslim di Shanghai. Penjelasannya ini tentu sangat kontras dengan apa yang saya pikirkan sebelum datang ke kota mode ini.
Sejauh yang saya amati, pernyataan Zakaria itu tak berlebihan. Memang banyak restoran muslim di sini. Bahkan hampir di setiap universitas yang ada di Shanghai terdapat kantin yang disediakan khusus untuk mahasiswa muslim.
Umumnya, restoran muslim yang ada di kota ini dikenal dengan nama Lanzho Lamin. Lanzho merupakan nama sebuah provinsi di Cina, sedangkan lamin artinya mi yang dibuat dengan tangan. Dengan demikian, Lanzho Lamin berarti “mi yang berasal dari Lanzho dan buatan tangan”.
Meski semua restoran muslim bertuliskan bahasa Cina, namun bagi muslim luar yang datang dapat dengan mudah mengenali ciri-ciri restoran tersebut. Umumnya, para pelayan memakai kopiah haji warna putih, papan tanda pengenal berwarna hijau, dan label halal yang jelas terpampang.
Kebanyakan para pemilik restoran muslim di sana berasal dari tiga kota/provinsi di Negeri Tirai Bambu ini, yakni Lanzho, Qinghai, dan Xinjiang. Di tiga provinsi ini terdapat banyak penduduk beragama Islam. Di Shanghai juga terdapat tujuh masjid yang biasanya digunakan sebagai tempat shalat lima waktu, Jumat, dan hari raya.
Salah satu masjid yang saya kunjungi bernama ‘Fuyoulou’, terletak di Yuyuan Garden, pusat kota serta salah satu kawasan perbelanjaan terkenal di Kota Shanghai.
Menurut sejarahnya, masjid ini dibangun pada tahun 1870 atas bantuan masyarakat muslim di Nanjing dan sudah mengalami tiga kali perbaikan. Masjid ini hampir setiap tahunnya dikunjungi oleh empat puluhan ribu masyarakat muslim baik dalam maupun luar. Sungguh pengalaman yang menarik dapat berkunjung ke Shanghai. 
[email penulis: ssyahreza@yahoo.co.id]

0 komentar:

Posting Komentar